Hati-hati Pembajakan Demokrasi !







Judul : Khofifah Indar Parawansa Melawan Pembajakan Demokrasi; Pelajaran dari Tragedi Pilkada Jawa Timur
Penulis : Ahmad Millah Hasan.
Penyunting: M. Arief Hidayat & Moh. Nur. Huda
Penerbit :Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (Pesat)Tangerang, Banten. Cetakan Pertama




Pada akhir Maret 2008, nama Khofifah Indar Parawansa bergema di media massa, waktu itu, bukan pemberitaan tentang prestasi Khofifah yang selalu bersemangat membicarakan segala hal tentang isu perempuan seperti yang sudah-sudah, bukan juga tentang prestasinya sebagai Pemimpin muda paling berpengaruh tahun 2008 yang dinobatkan oleh majalah Biografi Politik tahun 2008 lalu.


Tetapi, media massa gencar memberitakan isu Khofifah yang maju sebagai Calon Gubernur Jawa Timur pada pilkada 2008. Meski awalnya Khofifah selalu menutup-nutupi toh akhirnya mengaku juga tentang pilihannya dalam keikutsertaan pada pilkada Jatim.
Dalam perjalanan serta perjuangannya memenangkan pilkada, Khofifah selalu terlihat optimistis, mengingat ia banyak didukung kaum perempuan juga Nahdliyin yang memang memiliki massa yang sangat besar di Jawa Timur.


Meski sebenarnya di tengah perjalanan, tak sedikit batu terjal dan tajam selalu menghadang Khofifah beserta tim nya, seperti yang ditulis Ahmad Millah Hasan bahwa rintangan selama masa kampanye selalu mengiringi, seperti adanya black campaign (kampanye hitam) yang sengaja dilakukan untuk menjatuhkan popularitas Khofifah di mata rakyat Jatim. Diantaranya tersebarnya poster bergambar Salib yang bertuliskan “semoga Tuhan Yesus memberkati” beserta gambar Khofifah, yang jelas-jelas tidak dibuat oleh Tim Sukses Khofifah, tersebar hampir di semua daerah secara merata.


Ada juga isu gender yang sengaja dihembuskan untuk menumbangkan popularitas Khofifah, isu fatwa haram Perempuan jadi pemimpin dan masih banyak lagi ombak rintangan yang menerpa Khofifah dalam perjalanannya menggapai impian untuk mengubah Jawa Timur menjadi lebih baik.


Tak sampai di situ saja, selama masa pesta demokrasi dilaksanakan (masa pemungutan suara) pun, kejanggalan dan rintangan masih menerpa sedemikian gencarnya.


Meskipun Lima lembaga survey menyatakan Khofifah menang dalam pesta demokrasi rakyat Jawa Timur, namun KPUD menetapkan Khofifah kalah dalam pemungutan suara. Padahal, rangkaian bunga dan sms selamat sudah terkirim di hadapan Khofifah, Keganjilan dan kecurangan pun ditemukan Khofifah beserta timnya. Atas nama demokrasi, Khofifah mengajukan gugatan ke MK.


Banyak orang menuduh Khofifah gila jabatan, tak siap menang, atau apalah namanya yang sejenis maknanya. Persepsi masyarakat yang demikian tentu karena tidak tahu menahu duduk perkaranya secara rinci dan gamblang.


Di tengah persepsi sempit masyarakat tentang Perempuan Pemberani dan cerdas ini, buku tulisan Ahmad Millah Hasan menjadi muara yang menyegarkan. Buku berjudul Khofifah Indar Parawansa Melawan Pembajakan Demokrasi; Pelajaran dari Tragedi Pilkada Jawa Timur ini merupakan buku yang menyajikan realitas yang ada secara kronologis dan glambang.


Disertai bukti-bukti yang sangat kuat, pembaca akan diajak menyelami semangat Khofifah dalam melawan pembajakan demokrasi yang terjadi, di mana Khofifah beserta masyarakat Jawa Timur menjadi korban atas pembajakan tersebut. Pembaca akan turut serta memahami apa sebenarnya yang terjadi, bahasa yang digunakan Penulis sangat sederhana dan komunikatif, sehingga pembaca akan benar-benar merasakan situasi, emosi, juga spirit demokrasi pada waktu itu. Sangat layak dibaca untuk seluruh lapisan masyarakat yang mengaku berkewarganegaraan Indonesia (negara yang katanya demokratis ini), dan tentunya, menjadi kritikan tersirat untuk masyarakat yang akhir-akhir ini menggadaikan rasa demokrasinya demi secuil materi, buku ini mengajarkan rasa demokrasi yang sesungguhnya melalui tragedi yang digambarkan secara sangat menyentuh, sekaligus menyadarkan kita tentang nalar kebangsaan dan nasionalisme, sudahkah kita memahami arti kebangsaan, nasionalisme juga demokrasi yang sebenarnya. Selamat membaca. (Amalia Ulfah)

Peran NU dalam Mempertahankan Kebhinekatunggalikaan


(Liputan khusus wawancara dengan Alissa Wahid dan Inayah Wahid)



Indonesia merupakan negara yang di dalamnya terdapat berragam kebudayaan dan berragam karakteristik sosial masyarakat, ini tidak lepas dari pengaruh historis Indonesia yang dahulu ditempati oleh kerajaan-kerajaan yang memiliki karakter masing-masing di setiap pusat kerajaannya. Dengan masyarakat yang begitu heterogen dan berlangsung sampai saat ini, maka tepatlah jika Bhineka Tunggal Ika menjadi dasar falsafah bagi negeri ini, Bhineka Tunggal Ika menjadi nilai agung yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia, karena Bhineka Tunggal Ika menjadi pererat sekaligus pedoman bagi masyarakat dalam bersosialisasi dengan masyarakat lain.



Meskipun Bhineka Tunggal Ika menjadi dasar dan pedoman bagi negeri ini namun tidak lantas Bhineka Tunggal Ika dapat terus berkembang dengan sendirinya, dibutuhkan tokoh-tokoh pembesar dan pemberani yang mampu menggerakkan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dalam keseluruhan sistem sosial dalam berbangsa dan bernegera, para pembesar inilah yang kemudian memberi sentuhan jiwa bagi masyarakat akan pentingnya toleransi dalam bermasyarakat dengan orang-orang yang begitu berragam, sebab tanpa sentuhan itu rasa ketunggalikaan akan mudah terkikis dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Karena begitu jamaknya karakter masyarakat maka dinamika sosial juga menerpa dengan begitu derasnya, inilah yang kemudian menjadikan nilai kebhinekatunggalikaan harus dimotori oleh orang-orang yang berani dalam menggemborkan slogan bhineka tunggal ika yang oleh Gus Dur lebih dikenal dengan Pluralisme.

Gus Dur yang dikenal sebagai bapak pluralisme sekaligus bapak bangsa telah menunjukkan secara jelas dan tepat bahwa nilai agung Bhineka Tunggal Ika takkan ada artinya sama sekali dalam kehidupan masyarakat jika masyarakat tidak bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Secara substansif, pluralisme memiliki nilai luhur yang sama dengan Bhineka Tunggal Ika. Pemahaman yang sering kali keliru tentang pluralisme harus diluruskan agar masyarakat tidak memaknai pluralisme secara serampangan. Dalam pertemuan khusus antara pemuda NU Kaliwungu dengan Alissa Wahid (putri pertama Gus Dur) dan Inayah Wahid (putri terakhir Gus Dur) akhir September lalu, Alissa Wahid mengungkapkan bahwa pluralisme adalah keadaan di mana masyarakat berada dalam kejamakan atau keberagaman. “yang sama jangan dibeda-bedakan, yang beda jangan disama-samakan” ungkapnya. 


Dengan memahami secara seksama maka kita akan mendapat  kejelasan bahwa kejamakan atau keberagaman itu bukan berarti kita menyamakan apa yang berbeda dan kita juga tidak membedakan apa yang sama. “bukan kemudian saya hari ini berdoa dengan doa ala muslim, besok saya pakai doa ala salam maria, itu justru penunggalan, bukan kemajemukan” tambahnya. Inilah poin penting kesalahan orang tentang pemahaman pluralisme. Banyak yang mengatakan pluralisme sangat berpotensi merusak akidah muslim, ini didasarkan pada pendapat bahwa pluralisme itu berarti: sekarang saya muslim, besok boleh non muslim, besoknya lagi saya boleh muslim lagi. Ini adalah pemahaman yang keliru. karena sebenarnya pluralisme adalah hal yang sangat sederhana namun bernilai luhur: toleransi. Sama dengan Bhineka Tunggal Ika, hanya saja dalam bingkai yang lebih tren dan baru.

Peran NU
Selepas kepergian Gus Dur, banyak orang-orang yang dahulu sering dibela oleh Gus Dur, merasa kehilangan sosok yang sangat gigih mempertahankan kesatuan. Maka sepeninggal Gus Dur, praktis NU lah yang akan menjadi naungan bagi kaum minoritas, NU menjadi payung yang sangat potensial memberi pertolongan bagi mereka yang ditindas. Juga menjadi kawan yang baik bagi kaum lintas agama.

Alissa Wahid yang juga seorang direktur Fastrack Funschool Jogjakarta juga menerangkan bahwa pembelaan yang selama ini Gus Dur perjuangkan -baik untuk kaum minoritas maupun tidak- jangan diartikan secara sempit, masyarakat harus memahami betul bahwa apa yang Gus Dur perjuangkan adalah wujud dari sikap berbangsa dan bernegara yang baik, “patokan yang harus kita pakai adalah hukum, benar atau salah seseorang tidak bisa dijadikan alasan untuk menindas hak mereka” ungkapnya. “Bahkan orang yang salah secara hukum tetap memiliki hak hidup dan hak warganegara yang dilindungi oleh negara” tambah Inayah Wahid yang sekarang sedang mengambil studi Sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Ini menunjukkan bahwa sebagai masyarakat yang mayoritas muslim dan dikenal sebagai rakyat yang santun seharusnya kita bisa bersikap bijak dalam menanggapi dinamika sosial yang kian gencar terjadi. Mbak Alissa juga menyampaikan ungkapan Gus Dur yang sering Gus Dur lontarkan “kata bapak: saya bisa saja tidak setuju dengan pilihan atau pikiran anda, tetapi saya akan bela sampai mati apa yang menjadi hak anda”.

Lebih lanjut Alissa Wahid mengatakan bahwa NU memiliki peran yang sangat strategis dan petensial dalam melanjutkan perjuangan dan pemikiran Gus Dur dalam menjunjung tinggi nilai agung bhineka tunggal ika. Apalagi di beberapa kasus akhir-akhir ini banyak terjadi kekerasan atas nama agama dan juga konflik antar suku, hal tersebut menunjukkan mulai terkikisnya rasa kebhinekatunggalikaan dalam jiwa masyarakat secara luas. ini menjadi momentum yang sangat tepat bagi NU untuk menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi masyarakat islam yang banyak memberi sumbangsih bagi negara. 

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa secara historis, NU merupakan penyumbang tenaga dan pikiran yang sangat penting bagi kemerdekaan Indonesia ketika berada dalam tekanan penjajah. Alissa Wahid yang saat ini sedang sibuk melayani undangan dari berbagai gerakan gusdurian di daerah-daerah menghimbau agar NU dapat terus berjuang memberikan sumbangan-sumbangan penting bagi negara. Sudah saatnya NU kembali mengatur barisan mengatur kekompakan dan kesatuan dalam memberi manfaat untuk umat. (Amalia Ulfah)