Dewasa ini, terjadi regenerasi total pada tubuh NU. Generasi muda sekarang cenderung menjadi generasi yang “kosong” dan menjadi rebutan berbagai macam agama, ideologi, aliran-aliran, tata cara berfikir dan tata cara kehidupan.
(Dr. KH. A. Hasyim Muzadi)
Pernyataan Dr. KH. A. Hasyim Muzadi yang dikutip dari kata pengantar dalam Kamus Pintar NU tersebut merupakan cermin kondisi NU akhir-akhir ini, terutama yang terjadi di kalangan generasi mudanya, padahal, tentu kita tidak akan pernah lupa bahwa NU merupakan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan dengan anggota terbesar di Indonesia. Kita juga tentu ingat kerangka historis perjuangan NU di masa lampau, yakni di mana NU dengan semangat kebangsaan telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kemerdekaan bangsa yang sudah dijajah ratusan tahun, sumbangsih NU terutama di bidang keutuhan NKRI, kemajuan demokrasi dan juga dalam memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan humanisme di Negara yang sangat berragam ini.
Namun, memang sepertinya generasi muda sudah lupa lupa ingat terhadap hal-hal tersebut yang semestinya harus tertanam benar-benar dalam jiwa generasi muda, degradasi semangat itu jelas terlihat dalam langkah, semangat dan nalar intelektual generasi muda yang cenderung acuh terhadap kondisi NU sekarang. Itu terbukti pada program kerja yang berjalan lambat dan hanya itu-itu saja, dengan kata lain, tidak ada revolusi yang nyata dalam organisasi, jika kita lihat secara seksama, dalam organisasi muda NU terlalu terpaku pada program kerja yang sudah dijalankan di periode sebelumnya yang sebenarnya tidak begitu membantu memajukan NU, perlu ditekankan bahwa “memajukan NU” yang dimaksud adalah kualitas generasinya, bukan hanya kuantitasnya saja.
Monotonnya langkah para generasi muda NU ini tentu tidak lepas dari peran para seniornya yang dalam hal ini yaitu para tokoh kyai dan ulama NU. Jika kita lihat beberapa tahun terakhir ini ketika nuansa politik kekuasaan terasa semakin menjamur dan menjangkit kaum elit di negeri ini, NU pun terlihat mengikuti arus dinamika politik tersebut. Sebenarnya, bukan masalah ketika orang-orang NU berada di kursi birokasi, karena posisi tersebut sesungguhnya merupakan posisi yang –bisa- sangat membantu keberlangsungan NU dan kesejahteraan NU, jika tidak ada satupun perwakilan dari NU yang masuk dalam posisi birokrasi, tidak terbayangkan akan apa jadinya NU, apalagi jika yang berada di posisi birokrasi justru orang-orang yang non sense terhadap NU, mungkin teracuhkan, tak dipedulikan.
Yang menjadi masalah adalah ketika NU terpecah belah karena influence dari politik kekuasaan itu, seperti yang sekarang banyak terjadi, kaum elit NU terlihat memunculkan diri untuk tampil di panggung birokrasi, sebagai calon bupati, calon gubernur dan sebagainya, dan yang menjadi bibit masalahnya tentu ketika para elit yang “mengajukan” diri ini tidak hanya satu orang, tapi dua orang atau bahkan lebih, atau bahkan orang NU tidak bisa memadukan suara untuk memilih satu calon saja, sama-sama orang NU tapi menjadi tim sukses calon yang berbeda, memang itu hak masing-masing warga Negara untuk memilih pemimpin, tapi tentulah menjadi masalah karena mereka menunggangi NU untuk kepentingan tersebut. inilah yang kemudian memunculkan tembok besar dan tinggi antar sesama orang NU. Dan kemudian yang terjadi adalah peperangan antar calon dari kalangan NU tersebut, yang menjadikan NU bagai bola panas, di tending kesana kemari. Kegiatan-kegiatan atas nama NU digelar untuk mengusung jagoan masing-masing, padahal jelas itu telah menyalahi khittah NU yang dipertegas dalam muktamar ke-28 di Yogyakarta.
Dinamika politik para elit NU menjadikan generasi muda tak terurus, seperti terlupa bahwa NU harus mengayomi generasi mudanya, tidak hanya berkutat pada permasalahan konflik politik yang menjelma bagai ketakutan sekaligus kegerahan generasi muda, atau bahkan beberapa diantara generasi muda justru menjelma nenek moyangnya yang muda, mengikuti jejak para tetuanya pada jalur politik. Seperti perkataan seorang pengurus NU kepada saya “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Adalah wajar orang memilih jalannya sebagai politisi, birokrat dan sebagainya, tetapi perlulah kiranya NU sebagai pengayom generasi muda NU memberi pendidikan atau penyuluhan tentang jati diri NU, setidaknya memberi semangat yang mendalam bahwa dimanapun generasi muda NU berada, NU tetap sebagai ruang kelahirannya.
Terlepas dari konflik internal para elit NU, generasi muda NU harus belajar dari keterpurukan ini, generasi muda harus berani mengambil langkah yang lebih aktif dan progresif. Karena itu, perlu dibangun suatu ideologi yang kuat dan loyalitas serta dedikasi yang mantap. Cobalah tengok, betapa dulu NU memiliki anggota yang terbesar, tapi sekarang, kalau boleh saya katakan, NU –terutama generasi muda NU- mengalami kemorosotan di segi kuantitas, lihat saja di lingkungan kampus, dalam hal ini diayomi oleh PMII, KMNU, GMNU dan sebagainya, organisasi tersebut semestinya sebagai wadah berkumpulnya pada mahasiswa NU, tapi sayangnya, mahasiswa NU kenapa lebih tertarik bergabung dengan organisasi di luar faham keNUan? Ini menjadi tantangan yang sangat besar, belum lagi tantangan yang lebih besar yaitu munculnya aliran-aliran baru sejak masa reformasi bergulir, dan kebanyakan aliran-aliran tersebut telah menculik para mahasiswa yang beridentitas NU, memang tidak dapat dipungkiri, aliran-aliran ini lebih lihai dalam mengayomi para mahasiswa islam di kampus-kampus. Fenomena munculnya aliran-aliran baru yang bersifat sekular itu telah memiliki kekuatan yang sangat besar, dan sayangnya NU seperti kurang menyadari bahwa kampus merupakan lahan yang strategis bagi aliran-aliran tersebut dan menjadi tempat generasi mudanya telah kehilangan jati diri ke-NU-annya. Karena itu menanggapi permasalahan NU di kalangan mahasiswa, NU harus memberi perhatian khusus terhadap kondisi generasi muda NU di kampus.
Di luar kampus, generasi muda NU juga harus melakukan revolusi pada setiap langkah dan pola sistem jalannya organisasi. Tapi, menjadi masalah lagi ketika revolusi yang ingin dilakukan para anak muda NU justu terhalangi dengan kekangan atau ketidakpedulian kyai dan senior IPNU-IPPNU. Oleh karena itu, selain peranan kaum muda NU menjadi tokoh utama, para senior juga menjadi tolak ukur serta pendukung dalam kemajuan kaum muda NU.
Mari kita tengok ruang gerak NU yang kurang berkutat di semua lini dan perspeksi. Di bidang seni dan budaya misalnya, NU memiliki LESBUMI yang semestinya menjadi lembaga yang tepat untuk menjaring para generasi dalam meningkatkan kreasinya dan jiwanya dalam berseni dan berbudaya, tapi realitasnya berbalik arah dengan yang semestinya, LESBUMI terasa tertatih-tatih untuk menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang –sebenarnya- sangat dibutuhkan bagi generasi mudanya di bidang seni dan budaya. Sehingga generasi muda yang memiliki bakat dan juga minat yang besar di bidang itu merasa dirinya kosong, tidak menemukan muara yang dicarinya dalam NU, di hadapan para anak muda yang kosong ini lah pandangan negatif dan degradasi ghiroh terjadi. Anak muda yang berkiprah di organisasi-oganisasi muda NU menemukan dirinya berdiri tidak pada tempatnya, merasa bahwa NU hanya berbicara tentang tahlil, dan kegiatan sakral lainnya.
Padahal, hadirnya aliran-aliran baru yang bersifat kontemporer dan mengatasnamakan purifikasi islam semakin memojokkan NU karena kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral tersebut, meskipun sebenarnya aktivitas tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Islam lahir di Indonesia sebagai Indonesia itu sendiri, bukan Islam yang kearab-araban agar dapat diterima dan berlangsung di negeri ini. Untuk itulah, generasi muda harus diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan jiwa pemuda yang idealis, dan juga sesuai dengan apa yang diinginkan selama masih dalam koridor, perlu kiranya para tetua NU memberikan ruang bagi generasinya untuk mengembangkan NU di semua lini, sisi dan perspeksi, agar masa depan orang-orang NU tidak terus-terusan berada di satu posisi, NU harus lebih memasyarakatkan dirinya.
(Amalia Ulfah)
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Anda !