Judul Buku : Perempuan Berkalung Sorban
Penulis : Abidah El-Khalieqy
Penerbit : Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Tebal: viii+320 Halaman
Ukuran: 13x19 cm
ISBN : 978-979-15836-4-1
Resensi Oleh : Amalia Ulfah*
Membicarakan perempuan sebagai gerakan sosial feminisme, meski banyak dikatakan sebagai pembicaraan yang basi, sebenarnya akan terus berkembang dan tetap bergairah, mengingat di beberapa tempat tertentu, perempuan masih belum bisa merasakan angin segar feminisme yang gerakannya sudah muncul sejak tahun 1869 ini. Posisi perempuan yang dimarjinalkan sejatinya masih tumbuh di beberapa tempat yang memiliki sisi kultural yang begitu mengakar.
di Pesantren misalnya, dikotomi yang memosisikan perempuan hanya sebagai kanca wingking dan tidak memiliki kekuasaan lebih dari itu juga masih mengakar, terutama di pesantren salaf yang kental dengan akulturasi budaya Islam-Jawa. Keduanya memiliki corak khas masing-masing dalam memosisikan perempuan.
Islam, dengan sejarahnya yang keras dalam berhadapan dengan keterbelakangan budaya di Arab, memiliki sejarah buruk tentang perlakuan terhadap perempuan, hanya saja, zaman semakin berkembang, meskipun secara intelektual, dialektika mengenai islam melahirkan kelompok-kelompok moderat yang mengangkat derajat perempuan pada titik penghormatan yang lebih baik, namun tetap saja ada paham fundamentalisme dalam Islam yang masih demikian radikal dan ekstrem dalam mengungkung perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang layak.
Jawa, dengan sistem monarkinya, memosisikan perempuan sebagai "yang dinomorduakan", secara kultural, budaya Jawa cenderung paternalistik. Ada batasan-batasan tertentu dalam relasi gender di Jawa yang secara implisit menyatakan bahwa peran laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Perempuan sebagai "kanca wingking" adalah bukti dikotomi perempuan sebagai yang nomor dua.
Dua budaya patriarkis inilah yang mencoba diangkat oleh Abidah dalam novelnya berjudul Perempuan Berkalung Sorban. Melalui tokoh bernama Annisa, Abidah menggugat budaya diskriminatif terhadap perempuan dalam dua buah konstruksi sosial, yaitu Jawa dan Islam. Konstruksi sosial dalam Jawa ia representasikan dalam bentuk pesantren, meskipun secara gamblang Abidah berkonsentrasi penuh terhadap sub-kultur pesantren sebagai target kritisnya.
Abidah, dengan cara yang sangat berani, membuka berbagai realitas sosial yang ada di masyarakat Pesantren-Islam dengan menuangkannya dalam serangkaian adegan dan konflik yang secara klimaks dibuat fluktuatif, naik-turun tidak stabil.
Melalui setting di pesantren dan seorang tokoh bernama Annisa ini, Abidah menghadirkan realitas feminis dalam tembok pesantren yang selama ini jarang disentuh. Annisa sebagai putri Kyai selalu tidak mendapatkan kesamaan hak dengan kedua kakaknya, Annisa tidak boleh mengenyam pendidikan yang tinggi seperti kakak-kakaknya misalnya. Bahkan ketika Annisa sudah cukup mapan untuk berdiskusi secara ilmiah, suara Annisa sebagai perempuan tetap saja tidak mendapatkan porsi dalam pengambilan kebijakan birokrasi di Pesantren.
Namun, kegigihan Annisa untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang sama seperti juga laki-laki tak pernah surut. Annisa gigih menyuarakan keinginan dan cita-citanya yang tinggi. Ia tak pernah takut kepada Ayahnya meskipun ayahnya selalu menyatakan pendapat yang cenderung diskriminatif.
Novel ini merupakan novel yang cukup pedas bagi kalangan kaum sarungan dan juga fundamentalis Islam, Abidah tidak hanya menjawil pesantren dari segi diskriminasi terhadap perempuan, ia juga mengkritisi sistem peraturan di pesantren yang kurang bisa beraktualisasi dengan zaman, misal mengharamkan para santri membaca buku-buku sastra dan non sastra baik yang muatannya sosial, politik, dan sebagainya. tentu tidak semua pesantren demikian, Abidah hanya mengkritisi beberapa yang masih memberlakukan peraturan semacam itu.
Selain mengkritisi pesantren, ia juga menyenggol konstruksi ideologi kaum fundamentalis yang gencar memaksa muslim di Indonesia untuk berkiblat pada islam di Arab, yang biasa disebut gerakan Arabisasi.
"Dalam suratnya itu, ia bilang, belum tentu lagu yang menggunakan bahasa Arab itu islami. Kita jangan mudah terjebak dalam simbol. Bahasa Arab itu simbolnya orang Islam, tapi kalau di negara Arab, orang jahat, para penari perempuan juga menggunakan bahasa Arab".
Karya Abidah ini begitu kompleks, membicarakan bermacam hal yang ternyata begitu absurd. Benar apa yang dikatakan Wellek dan Warren (1976) bahwa Sastra adalah cermin masyarakat. Sastra bukanlah imaji yang mutlak, ia merupakan karya tulis yang menceritakan keadaan yang benar adanya di masyarakat. Abidah telah mengungkapkan realitas sosial dalam pesantren melalui novel yang gigih ini. Abidah bukan menjelek-jelekkan sistem dalam pesantren, ia telah melakukan upaya otokritik, sebab ia sendiri juga besar di lingkungan pesantren, sehingga otokritik merupakan jalan yang baik sebagai cara mengembangkan pesantren pada posisi yang lebih baik.
* Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Anda !