Kalang Kabut: Dari Kiai Kampung ke NU Miring



*Oleh: Abi S. Nugroho


Judul Buku: Dari Kiai Kampung ke NU Miring
Penulis: Acep Zamzam Noer et.al
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Tahun Terbit: 2009
Jumlah Halaman: 248 hlm


Apa boleh buat, buku sudah dicetak. Pikiran sudah tertuang jadi catatan. Perasaan yang mengisi dada, tumpah-ruah. Semua itu digarap dengan baik menjadi buku berjudul "Dari Kiai Kampung ke NU Miring: Aneka Suara Nahdliyyin dari Beragam Penjuru".
Bersampul hijau tua muda, tertampak bayang manusia dalam ruang geraknya yang konstan. Berkostum sorban dan kopiah. Sigaret di sela jari. Itulah sampul ­bayangan, bergambar Nahdlatul Ulama tercetak miring. Pembaca akan mengerti maksud sampul dan judul, tentu ­dengan membaca secara cermat dan kritis kandungan isinya. Sosok bayangan itu. Entah siapa mereka. Maka, baca dan ketahuilah.
Buku ini menjadi bermutu karena ­mengandung energi kritik luarbiasa. Bukan sembarang kritik, melainkan mengupas seluk-lilu kehidupan kaum Nahdliyyin--kiai, santri, warga NU yang dianggap dan warga NU biasa tidak dianggap. Warga NU terbagi-bagi begitu rupa. Untuk, oleh dan kepada siapa. Egalite dan elite, struktural dan kultural, kota dan desa, tua muda, serius nggak serius, dan sebagainya. Sehingga menjadi amat manusiawi, buku semacam ini ditulis. Tentu jika kita membacanya, para penulis seolah "kalang kabut" menghadapi kenyataan yang terjadi di tubuh NU akhir-akhir ini, khususnya pasca-Muktamar NU ke 32 di Makassar.
Terdiri dari 248 halaman dalam tiga bagian. Didahului asbab an-nuzul NU miring oleh Binhad Nurrohmat selaku editor. Bagian pertama, menonton NU. Kedua, mengulas NU. Ketiga, mencanda NU. Seakan tidak mencita-citakan sesuatu yang muluk-muluk.  Judul dan bagian isi memenuhi rasa bahasa kaum yang merasa memiliki masa depan. Mereka, kaum muda Nahdliyyin.
Ditulis sederhana dengan pilihan bahasa yang ringan tapi tajam. Mengalir mengisi ruang imaji pembaca, hingga selalu ada jeda menuai pertanyaan. Fakta diolah sedemikian rupa, sehingga jadi gurih sekaligus pedih. Nyaris tanpa kesalahan ketik pada ejaan. 
Kalimat penutup di setiap tulisan, sangat berkesan. Seperti apa yang ditorehkan Acep Zamzam Noor berikut ini, "Kisah tentang NU mungkin tinggal episode-episode sinetron yang alur ceritanya klise, membosankan, dan mudah ditebak pemirsa." Mujtaba Hamdi, mengatakan "Usah berlebihan. Sebab di luar sana ada banyak mata menatap, dan tak semua mampu memahami gerak a la NU. Jangan sampai dikira sedang aksi goyang condong. Na'udzubillah..." dan Soffa Ihsan, menegaskan "Keteladanan itulah yang paling utama untuk diketahui. Sebab, ucapan tanpa ada bukti keteladanan takkan pernah bisa dipahami. "Wallahu a'lam bi al-sawab."


Semua komentar di atas terasa bernada kurang ajar, menggurui. Meski tidak tepat disebut demikian. Karena itulah cara mereka menyapa persoalan yang tengah dihadapi. Suatu kesantunan tersendiri melalui satu tulisan yang tertata. Sekadar harapan kecil yang pedas didengar oleh beberapa kelompok, lantaran itu keluar dari pendirian nurani.
Keberanian seorang penulis lain dalam melihat persoalan NU juga bisa kita amati pada buku ini pada bagian "Menonton". Sudah sepantasnya penilaian dihargai. Kritik dipelihara dan dijaga demi perbaikan ke depan. Eyik Musta'in Romly menyuguhkan kesegaran yang menjadi kunci tulisannya. Dia melihat bahwa, "Hal yang harus dilawan adalah para penunggang NU yang memanfaatkan kebesaran NU demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan demi kemakmuran warga NU. Hal yang mesti dikritisi adalah ulama dan pemimpin NU yang mendoktrin dan membodohi warganya demi keuntungan pribadi dengan memanfaatkan kekayaan untuk merebut NU struktural/kultural serta merebut kursi kekuasaan NU tanpa akhlaqul karimah. Juga mereka yang memutar uang dengan mengeruk kekayaan dengan menjual nama NU." Kekhawatiran yang mengandung harapan. Perasaan dan penilaian itu tidak bisa dianggap remeh. Perlu dipikir ulang dan dicari bagaimana cara penyelesaiannya, kalau memang itu dianggap masalah. Hanya tulisan, tapi jika mengandung kebenaran, tetap perlu diperhitungkan. Akhirnya mau jadi NU yang bagaimana? Mana saja boleh! Sebegitu seriusnyakah menjadi NU?
Kok ada, NU Miring? Macam mana...!!! Adakah NU tidak miring, NU lurus, berkelak-kelok bahkan bergelombang? Tawaran berbagai istilah, boleh saja. Tapi kebiasaan semacam ini terkesan hiperjargon. Persoalan yang menentukan masa depan, merah dan hitamnya kebenaran, tidak diselesaikan dengan cara demikian. Sekadar jeda kelakar, boleh saja. Tapi itu pun lebih baik, selama masih bisa menjiwai kegembiraan dengan NU gembira bersama saudara Binhad, Monggo mawon...
* Penulis adalah peserta kelas Tadarus Kolom-Kolom Gus Dur

NU miring, Sastra Gonjang Ganjing


Sabrank Suparno
http://media-jawatimur.blogspot.com/
Menelusuri kiprah para muda NU sepeninggal tokoh muktabar Abdurrahman Wahid, diam-diam generasi penerusnya aktif melakukan upaya terobosan yang mengarah ke pembangkitan kesadaran kembali, terutama pada wilayah tradisi keNUan atau yang dikenal dengan ‘tradisi santri’. Geliat ini dapat kita amati dari berbagai acara yang berkenaan dengan keNUan dari berbagai sektor kehidupan sosial, politik, kebudayaan, kesenian dan sastra, bahkan soal yang remeh sekali pun perihal ‘guyonan nyentrik ala NUis.
Menyimak beberapa catatan misalnya pertemuan dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya mendiang Gus Dur yang diadakan oleh Pengurus Ranting Cabang NU Diwek di masjid Ulul Albab Tebuireng, dengan menghadirkan Djohan Efendi dan budayawan Kacung Marijan. Atau gagasan acara Buka Puasa bersama di Gereja Diaspora Jombang yang dihadiri Alisa Wahid pada 26 Agustus 2010. Juga kunjungan PBNU KH. Agil Shiroj di Tambakberas tanggal 26 Juni 2010.
Menyambung penelusuran catatan serentetan acara di atas, yang paling hangat pada tanggal 12 Pebruari 2011 lalu, dimana universitas Undar Jombang mengadakan bedah buku: Dari Kiai Kampung ke NU Miring, Aneka Suara Nahdliyin dari Beragam Penjuru. Sengaja fihak rektorat Undar (dalam hal ini dr. Ma’murotus Sa’diyah M Kes: salah satu penulis buku tersebut) menghadirkan tiga sastrawan kondang D. Zawawi Imron, novelis Lan Fang, dan penyair Binhad Nurohmad.
Maksut NU Miring dalam buku setebal 284 halaman ini bukanlah suatu gambaran ketegangan pada titik nadzir kondisi kritis, melainkan ekspresi kepekaan para panulis muda NU dalam menyikapi kondisi mutakhir NU ketika dihadapkan pada realitas jaman. Maka ditemukan berbagai cara pandang dari beberapa penulisnya yang merujuk pada tiga kategori menonjol, yakni Mengulas NU, Mencandai NU, serta Menonton NU. Namun secara global wacana ‘NU Miring’ dalam buku ini sebagai adagium atas beberapa ‘tradisi NU yang sering ‘nyleneh’.

Tentu ada alasan mendasar kenapa Binhad Nurohmad selaku sastrawan muda Indonesia punya niatan menyunting buku tersebut. Menjawab pertanyaan perihal tema yang diangkat buku NU Miring, Binhad mengurai bahwa agar ditemukan teks pembacaan keNUan dari berbagai kalangan dan dari berbagai propinsi di Indonesia. Teks yang dimaksut adalah NU yang berani nyleneh, unik, termasuk sikap otokritik penulisnya terhadap kondisi kontemporer tubuh NU sendiri atau pun mengkritisi pemerintah.

Senada dengan Binhad, penyair sepuh asal ujung Madura yang berjuluk ‘si celurit emas’ D. Zawawi Imron menandaskan bahwa kehadiran buku ini merupakan potret semangat generasi muda NU yang ingin bangkit dengan mendengarkan suara hati rakyat secara realitas. Kebangkitan yang substansial. Sebab NU mulai kehilangan nilai tradisinya termasuk di bidang seni-sastra. Dalam pesan singkatnya D. Zawawi Imron menyarankan agar generasi NU mentradisikan filsafat Jawa, “iso o rumongso, ning ojo rumongso iso (pandailah berintrospeksi diri, namun jangan sok merasa pakar).”

Novelis Lan Fang lebih mengurik soal tradisi NU yang ia nilai unik, yakni tradisi tawadzuk, andap asor, bertatakrama terhadap yang lebih tua. Tatakrama dinilai penting dalam tradisi nahdliyin yang setara dengan tradisi masyarakat Cina, sebab dengan bertatakramalah menjadikan seseorang berwibawa: sesuatu makna pamor yang tidak dimiliki orang Barat meski pun berpredikat pakar besar. Selain membidik pandangannya mengenai tradisi NU yang nleneh, Lan Fang juga membaca penggalan novel terbarunya ‘Ciuman di Bawah Hujan’.

Kehadiran intelektual muda NU Yudi Latief dari Jakarta, kian mengesahkan perihal kemiringan tradisi NU yang bertumpu pada pengkajian kitab kuning sebagai jantung kekuatan NU, dengan cara menarik garis sumbu simetri keilmuan ke berbagai sektor kehidupan bermasyarakat.

NU, sebagaimana kita ketahui, adalah organisasi islam terbesar di tanah air yang dalam doktrinnya memadukan nilai-nilai keislaman dengan nilai tradisi di tanah air. Menyimak ulang apa yang dikatakan Sholahudin Wahid saat 40 harinya Gus Dur, bahwa selaku tokoh besar NU, sepulang dari Timur Tengah, paham yang dikembangkan Gus Dur ialah ‘meng-Islamkan Indonesia, dan bukan mengArabkan Indonesia’.

Pengacakan kepanjangan “Nahdlotul Ulama”, benar-benar dibongkar miring oleh penulis Ahmad S Alwy menjadi “Nahdlotul Umum”yang memungkinkan warganya datang sedari kalangan borjuis hingga proletarian. Sementara Riadi Ngasiran lebih santai menghadirkan NU dari sisi humor yang dipandang penting oleh para santri untuk melenturkan ketegangan atas ketimpangan hidup.

Kenylenehan NU dalam berbagai aspek kehidupan, kerap menumbuhkan guyonan nyentrik jika berhadapan dengan organisasi lain. Namun guyonan tersebut semata bertujuan sebagai sikap egalitarian berdampingan, bermesrahan dengan golongan lain. Ada banyak guyonan semisal: orang NU yang suka berwirid dengan suara keras, memperbanyak ibadah sunat, artinya orang NU menyukai bonus dalam beribadah, sementara orang Muhammadiyah menyukai diskon dengan bertarawih hanya 8 rekaat. NU sekarang bermadzhab Imam Syafi ie Maarif, sementara Muhammadiyah bermadzhab Imam Malik Fajar. Atau kelakar warga yang berbasis NU ketika menyarankan anaknya. ”Nak! Kalau kamu menikah harus mencari orang muslim, minimum Muhammadiyah.” Juga kekentalan tradisi membaca salam, assalamu’alaikum warohmatullhohi-ta’ala-wabarokatuh. Sedang warga selain NU, assalamu’alaikum warohmatullhohi-gak usah ta’ala ta’alaan-wabarokatuh.

Tradisi NU tak lepas dari tradisi santri, tradisi kitab kuning dan tradisi sastra. Awal mendalami bahasa dan sastra di podok pesantren, santri pasti dihadapkan pada rumus-rumus tatabahasa yang disuguhkan dalam bentuk bait pantun bersajak. Sejak kitab terkecil Nahwu, Shorof, Jurumiyah, Imriti, Alfiyah, bahkan Al Hikam kental dengan tuangan irama sajak. Hingga metode ini kerap digunakan santri sebagai ajang sindiran ketika mengutarakan simpatinya terhadap santriwati. Dengan alasan menghafal sebaris bait dari kitab Alfiya –wa yak tadzi, ridhon bi ghoiri sukhti-faiqot alfiyat abnu Mukti- yang dirubah isi bahasanya menjadi –pagi-pagi tak samperi diam saja-sore-sore tak sindiri, lirik mata-, yang sengaja diperdengarkan kepada santri putri yang ia taksir.

Tradisi membaca bait puisi sholawat (al Barzanji, Diba’iyah) bagi remaja NU juga memiliki keunikan tersendiri. Disamping mereka melampiaskan kerinduan atas ketakjubannya pada kekasih petunjuk jiwanya yakni Muhammad Rasululloh, pun kadang dinunuti niatan mengutarakan isi hati kepada kekasih (wanita) yang ditaksirnya. Lagu sholawat yang dilantunkan dengan lirik lagu pop, dangdut, qosidah, pelantun dapat menyampaikan keluhan, pujaan, kerinduan terhadap sang pacar yang mendengarkan. Semisal ketika berlangsung acara Diba’iyah putri, mereka melantunkan lagunya Imam S Arifin// jangan tinggalkan aku // kumohon kepadamu // tak sanggup diri ini // hidup tanpa dirimu //ditembangkan dengan bersholawat. Sehingga pada kesempatan lain, ketika hari Diba’iyah putra, mereka membalas dengan lagu sholawat yang ditembangkan / hani / hani / aku juga rindu / tetapi untuk sementara / biarlah terpisah / lagunya Roma Irama.

Menyibak fenomena tradisi NU di atas, betapa warga NU lekat dengan dunia sastra. Itulah mungkin yang bisa melebar dari kajian buku NU Miring ini, menyorot NU dari sudut pandang sastrawan, dengan harapan, para santri lebih gigih dalam menulis dan bersastra. Hampir tidak ditemukan genre ‘sastra santri’ pasca-lengserkeprabonnya barisan penulis santri: Taufik Ismail, Abdul Hadi WM, Ahmad Thohari, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Al Adawiyah, al Bustami, al Hallaj, Rumi, dll yang tidak sekedar mengguratkan pena dalam berkarya, melainkan menyempurnakan karya sastranya dari sekedar ‘seni untuk seni’ atau seni untuk masyarakat tertentu, menjadi ‘seni untuk kehidupan manusia yang berbudaya tinggi.

Agaknya tidak lengkap jika kemiringan NU tidak disertai karya sastra santrinya yang menggelegak hingga menggonjang-ganjingkan kesusastraan Indonesia. Bagi santri, satu huruf saja yang mereka tulis tak lepas dari keterlibatan Tuhan (ibadah). Bisa saja tiba-tiba mengantuk atau hilang kesadaran ketika berkarya, maka tak akan jadi sebuah karya.

Karya santri ialah karya yang disandarkan pada fastabikul khoirot (berlomba memperbanyak kebaikan untuk umat manusia-rahmatan lil alamin). Ukurannya hanya sejauh mana Alloh turut campur dalam proses esoteris komitmen dimensi batin penulis yang mengintegral pada karyanya.

Sejarah IPNU-IPPNU (4)


Masa Kelahiran (1954-1955)


Berawal dari Pesantren

Sekitar akhir tahun 1954, di kediaman Nyai Masyhud yang terletak di bilangan Keprabon, Surakarta, beberapa remaja putri yang kala itu sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, mencoba merespon keputusan Muktamar NU ke-20 di Surabaya tentang perlunya organisasi pelajar di kalangan nahdliyyat.(8) 

Diskusi-diskusi ringan dilakukan oleh Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Lathifah Hasyim, Romlah, dan Basyiroh Saimuri. 

Dengan panduan ketua Fatayat cabang Surakarta, Nihayah, mereka berbicara tentang absennya pelajar putri dalam tubuh organisasi NU. Lebih-lebih setelah kelahiran Muslimat NU (29 Maret 1946) yang beranggotakan wanita-wanita paruh baya, dan Fatayat NU (24 April 1950) yang anggota-anggotanya banyak didominasi oleh ibu-ibu muda.(9) 

Pembicaraan itu kemudian berkembang dengan argumentasi Nihayah tentang pentingnya didirikan satu wadah khusus bagi para pelajar putri NU. Apalagi keputusan muktamar ke-20 NU tahun 1954 menyatakan, bahwa IPNU adalah satu-satunya organisasi pelajar yang secara resmi bernaung di bawah NU dan hanya untuk laki-laki, sedangkan pelajar putri sebaiknya diwadahi secara terpisah. Nihayah juga berdalih bahwa banyak pelajar-pelajar putri dari kalangan NU yang dimanfaatkan oleh ormas-ormas yang kebanyakan berafiliasi kepada partai politik tertentu di luar NU. Nihayah bahkan menjabat sebagai Ketua Departemen Keputrian Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berafiliasi kepada Partai Masyumi, padahal menjelang pemilu 1955 NU sudah berpisah menjadi partai sendiri. 

Obrolan ringan yang biasanya dilakukan seputar waktu senggang setelah sekolah itu akhirnya berkembang menjadi sebuah gagasan kemungkinan pengiriman pelajar putri NU mendampingi pelajar-pelajar putra yang memang pada awal tahun 1955 sedang mempersiapkan muktamar I IPNU yang akan diadakan di Malang, Jawa Timur. 

Gagasan ini menjadi semakin matang dengan diusulkannya pembentukan sebuah tim kecil oleh Ahmad Mustahal -ketua NU cabang Surakarta yang juga secara rajin memantau perkembangan gagasan nahdliyyat muda tersebut- untuk membuat draf resolusi pendirian IPNU-Putri. 

Tim yang diketuai Nihayah dan sekretaris Atikah Murtadlo ini menyusun draf resolusi di kediaman Haji Alwi di daerah Sememen, Kauman, Surakarta dan memutuskan untuk memberitahukan adanya rencana resolusi tersebut kepada PP IPNU yang berkedudukan di Yogyakarta. 

Tim juga menetapkan dua orang anggotanya yaitu Umroh Machfudzoh dan Lathifah Hasyim sebagai utusan untuk menemui PP IPNU di Yogyakarta. Selanjutnya utusan tersebut berangkat ke Yogyakarta dan diterima langsung oleh Ketua Umum PP IPNU, M. Tolchah Mansoer. Dalam pertemuannya, Umroh menyampaikan permintaan tim resolusi IPNU-Putri agar PP IPNU dapat menyertakan cabang-cabang yang memiliki pelajar-pelajar putri untuk menjadi peserta/wakil putri pada Kongres I IPNU di Malang. Selanjutnya disepakati pula dalam pertemuan tersebut bahwa peserta putri yang akan hadir di Malang nantinya dinamakan IPNU-Putri. 

Konperensi Panca Daerah

Sesuai dengan permintaan dihadirkannya utusan IPNU-Putri sebelumnya, selain dihadiri oleh peserta putra dari cabang-cabang IPNU seluruh Indonesia, pembukaan Muktamar I IPNU di pendopo kabupaten Malang dihadiri pula oleh peserta putri yang ternyata hanya berasal dari lima cabang (berikut nama-nama utusannya) yaitu: 

1. Cabang Yogyakarta: Asiah Dawami
2. Cabang Surakarta: Umroh Machfudzoh Wahib, Atikah Murtadlo
3. Cabang Malang: Mahmudah Nahrowi
4. Cabang Lumajang: Zanifah Zarkasyi
5. Cabang Kediri: Maslamah

Setelah selesai acara pembukaan, negosiasi formal dilakukan oleh para peserta putri dengan pengurus teras PP IPNU tentang kelanjutan eksistensi IPNU-Putri yang berdasarkan rencana sebelumnya secara administratif akan hanya menjadi departemen di dalam tubuh organisasi IPNU. Pembicaraan tentang kemungkinan ini berjalan cukup alot karena PP IPNU secara formal tidak pernah merasa mendirikan IPNU-Putri dan berakhir buntu pada keputusan diadakannya pertemuan intern lebih lanjut di antara utusan putri yang hadir mengenai kedudukan IPNU-Putri. 

Hasil akhir negosiasi dengan pengurus teras PP IPNU telah membentuk semacam kesan di antara para peserta putri bahwa organisasi IPNU kelak hanya akan lebih serius untuk menggarap anggota dari kalangan putra. 

Terlebih melihat keputusan-keputusan Konperensi Segi Lima IPNU di Surakarta dan hasil Muktamar ke-20 NU di Surabaya yang memang mengukuhkan eksklusivitas IPNU, hanya untuk pelajar putra. Melihat hal tersebut, pada hari ke-2 kongres, para peserta putri yang ternyata hanya dikirimkan oleh lima cabang itu sepakat untuk mengadakan pertemuan terpisah dari arena kongres IPNU.
-----------------------------------------------------
(8) Nyai Masyhud adalah ibu dari Ny. Mahmudah Mawardi, ketua umum PP Muslimat NU 1952-1979, dan nenek dari Farida Mawardi, ketua umum PP IPPNU periode 1963-1966.
(9) Nihayah berperan aktif dalam pembentukan IPPNU hanya sampai akhir tahun 1954 karena harus meninggalkan Surakarta dan menikah dengan K.H. Ahmad Siddiq. Kyai Siddiq adalah Rais 'Aam PBNU hasil muktamar NU ke-27 di Situbondo dan terpilih lagi pada muktamar ke-28 di Yogyakarta tahun 1989.

Membumikan Islam Sunni: Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lingkup Keindonesiaan




Judul Buku : Islam NU
Penulis: Drs. KH. A. Busyairi Harits, M. Ag. 

Tebal: xi + 223 hlm
Ukuran: 12 x 18 cm
ISBN: 978-979-1353-22-9
Terbit: Cetakan I, 2010
Penerbit: Khalista Surabaya








Resensi Oleh :Anis Nurohmah *



Dalam kajian historis, Greetz membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan, diantaranya santri, priyayi, dan abangan. Dalam perkembangan selanjutnya atau kekinian, kategori yang telah ada semakin banyak pula macamnya. Pengotak – kotakan terhadap Islam ini antara lain kategorisasi Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam Jawa, Islam lokal, Islam jenggot, Islam NU, dan sebagainya. 

Kategori ini menjadi penting manakala melihat keragaman realitas yang kompleks. Tetapi yang mesti dipahami bahwa kategorisasi dan tipologi tersebut merupakan suatu analisis intelektual yang tidak akan mampu menjelaskan secara tuntas kompleksitas dan realita yang ada. 



Di Indonesia, tradisi Islam sering dikaitkan dengan budaya lokal yang bernuansa Hindu – Budha dan agama adat. Padahal secara makna harfiah, antara tradisi dan budaya sudah berbeda pemaknaannya. Karenanya tidak mengherankan bila Islam tidak pernah sepi dijadikan obyek kajian, dan setiap pengategorian Islam pasti memiliki kebenaran sekaligus kelemahan. 

Di lingkungan masyarakat Jawa misalnya, secara kasar dapat dibagi menjadi empat kategori. Pertama, Islam yang tercampur dengan tradisi lokal. Kedua, muslim yang terbaratkan (westernized) atau setidaknya memperoleh pengaruh Barat secara kental, sementara tradisi dan wawasan Islamnya sangat minim. Ketiga, mereka yang memahami dan menghayati Islam dalam kadar pas–pasan, serta memiliki pemahaman dan apresiasi peradaban Barat serta modernisasi yang juga pas–pasan. Keempat, mereka memiliki kedalaman tentang Islam dan mampu memelihara etos dan disiplin ilmu keislaman.  Inilah yang kemudian lazim disebut kaum santri yang memang benar–benar santri. 



Dalam buku yang diedit oleh Muhammad Iqbal atau kerap disapa Gus Iq ini berusaha mengungkapkan sisi lain NU yang telah menisbatkan diri sebagai organisasi yang berpedoman pada Ahlussunnah wal Jama’ah sejak dari awal terbentuk. 

Bahasan yang terbagi dalam enam bab terdiri atas pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penulisan buku sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca mengenai Nahdlatul Ulama sebagai pengantar dalam kajian pada bab–bab berikutnya. 

Bab dua tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, penulis berusaha mengungkapkan sejarah lahirnya komunitas Sunni dan perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah beserta penjelasan siapakah yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. 

Bab ketiga, NU dan perspektif fiqh berusaha diungkapkan dengan penjelasan tentang sumber ajaran Islam yang dipakai NU dalam setiap pengambilan keputusan dan menghadapi berbagai permasalahan, baik yang bersifat ubudiyah maupun muamalah. Pengambilan keputusan selalu berpedoman pada dasar sumber Islam yaitu Al Qur’an dan As Sunnah serta Al ijma’ dan Al Qiyas, penjelasan tentang sistem bermadzab menjadi bahasan yang menarik karena penulis menjabarkan tentang beberapa madzab yang berkembang di kawasan Islam. 



Masalah taqlid yang seringkali menjadi polemik di kalangan luar Nahdliyyin dijadikan sub bahasan yang mampu memberikan penjelasan bahwa taqlid yang dilakukan warga Nahdliyyin bukan tanpa alasan karena dalam beberapa aspek dijelaskan bahwasanya orang yang kurang pemahamannya dalam hal ilmu agama wajib bertaqlid pada orang yang lebih paham dalam hal ini, adalah para mujtahidin. 



Talfiq atau pencampuran ajaran berbagai madzab dalam masalah ubudiyah tak lepas dari tema dengan melihat kondisi masyarakat saat ini yang seringkali tidak paham mengenai fiqh dan seringkali malah mencampuradukkan antara madzab satu dengan madzab yang lain. 

Lanjut pada sub bab berikutnya mengenai bid’ah yang acapkali warga Nahdliyyin dituding sebagai penyebar macam tradisi yang berbau bid’ah.  Penulis menjabarkan tentang definisi bid’ah disertai pembagian bid'ah menurut ulama salafus shalih. Bab ketiga ditutup dengan sub bahasan mengenai bathsul masa’il ala NU. 

Dalam bab keempat, teks pidato Mukaddimah al Qanunil Asasy dipaparkan setelah diterjemahkan oleh Dr. (HC) KHA. Musthofa Bisri Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang. Bahasan dilanjutkan mengenai sejarah berdirinya NU dengan cerita yang belum pernah dipaparkan sebelumnya, terutama mengenai peristiwa tongkat dan tasbih yang dipaparkan oleh Kiai Asad. Dalam perjalanannya pun beberapa ulama pendiri NU tidak lepas dari Komite Hijaz yang merupakan awal dari bibit berdirinya Nahdlatul Ulama, disambung dengan tujuh kepribadian dan karakter NU sebagai gerakan keagamaan (harakah diniyah) yang dilandasi oleh dasar dan paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah dan sistem bermadzab. 



Klimaks dari buku ini terdapat pada bab kelima, tantangan Islam NU dan tradisi Sunni Indonesia dalam menghadapi gencarnya ajaran Wahabi mulai menyebar ke berbagai belahan dunia dengan berbagai model gerakan dan organisasi. Dalam bab ini pula, penulis berusaha mengungkapkan akar ajaran berbagai macam gerakan Islam yang cenderung ke arah puritanisme, fundamentalisme, bahkan gerakan Islam yang mengarah kepada ekstremisme. 



Penulis juga seorang dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Semarang (UNNES) berusaha pula menyempurnakan tulisannya dengan bahasan mengenai pilar–pilar pengawal Sunni dalam berbagai bidang, baik pendidikan, budaya, sosial kemasyarakatan, perekonomian, penerangan dan dakwah serta adanya gerakan kiai kampung yang menjadi agenda dalam menjaga ajaran Sunni di wilayah Nusantara. 

Bab terakhir atau bab keenam merupakan bab penutup dengan untaian kalimat dari penulis: “Meskipun saya bukanlah yang pertama memulainya, tapi saya yakin dapat mendatangkan sesuatu yang tidak pernah dihadirkan oleh mereka para pendahulu.”



Melalui buku ini, penulis berusaha untuk mengomunikasikan beberapa hal kepada masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai Islam yang diusung NU adalah Islam yang santun, cantik, dan menarik. 

Santun berarti ajarannya bermuara pada teologi filosofis yang sarat dengan etika dan estetika ketuhanan atau sering kita sebut dalam ilmu tassawuf dengan akhlak Rabbany. 

Cantik, artinya pengembangan ajaran Islam mengikuti ritme ‘adalah, keadilan, kesimbangan (tawazun), kedamaian (al-shaluh) dan selalu percaya terhadap visi dan misi Rahmatan lil’alamin. 

Islam NU ini ngin menyatakan bahwa ajaran yang selalu mengusung mahzab bukan berarti mengekor, tidak memiliki inisiatif atau mengekor pendapat orang. Akan tetapi ingin menggambarkan bahwa elastisitas hukum sangat penting untuk diselaraskan dengan obyek hukum itu sendiri, atau dengan kata lain menyelaraskan antara bahasa langit (wahyu) dan bahasa bumi (manusia).



Buku yang menjadi salah satu referensi untuk masyarakat Indonesia pada umumnya untuk lebih mengenal NU, arti penting Ahlussunnah wal Jama’ah, Komunitas Sunni dan untuk lebih mengetahui tentang paham Wahabi yang telah menjadi paham resmi di wilayah Saudi Arabia, mengingat sejarah dari Muhammad Ibn Saud dan kerjasamanya dengan Muhammad bin Abdul Wahab hingga akhirnya mampu menguasai wilayah Haramayn (Makkah dan Madinah). 

Terlebih khusus buku ini ditujukan untuk kaum muda NU dan warga Nahdliyyin untuk tetap berada dalam koridor pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah, mengingat sekarang semakin maraknya muncul aliran–aliran agama yang seringkali memojokkan para warga NU yang dicap sebagai “ahli bid’ah”. 



* Pegiat Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta

Sejarah IPNU-IPPNU (3)


Beberapa bulan kemudian, yakni pada tanggal 28 Februari-5 Maret 1955, IPNU mengadakan muktamar yang pertama di kota Malang, Jawa Timur. Dalam kurun waktu setahun sejak berdirinya -menjelang muktamar yang pertama tersebut- IPNU berhasil meluas hingga ke propinsi-propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur dan DKI Jakarta.(7) 

Muktamar ini diikuti oleh lebih dari tiga puluh cabang dan beberapa undangan dari pesantren. Gegap gempitanya muktamar ini semakin meriah dengan kehadiran Presiden Soekarno bersama Wakil PM Zainul Arifin dan Menteri Agama K.H. Masykur yang berkenan memberi wejangan kepada muktamirin serta warga Malang yang saat pembukaan muktamar tumpah ruah di halaman pendopo kabupaten Malang. 

Hadir pula Rois 'Aam NU K.H. Abdulwahab Chasbullah, Ketua Umum Partai NU K.H. Dachlan dan Ketua Umum PB Ma'arif NU K.H. Syukri Ghozali. Maraknya pemberitaan media massa tentang Muktamar I IPNU di tengah suasana menjelang pemilu pertama sejak Indonesia merdeka dan dikonsolidasikannya segenap kekuatan NU yang sejak tahun 1952 berubah menjadi partai politik tersendiri setelah terpisah dari Masyumi, tak pelak lagi membawa nuansa politik yang teramat kental di arena kongres. 

Terlebih lagi kongres tersebut dibuka secara langsung oleh Presiden Soekarno yang memang sedang menggalang dukungan di tingkat grass root yang mulai pudar karena rakyat disibukkan dengan konsolidasi partai-partai politik menjelang pemilu 1955. 


Delegasi dari cikal bakal IPPNU sebenarnya ikut hadir dalam pembukaan muktamar, namun kontribusi mereka terhadap perhelatan nasional organisasi pelajar NU tampak masih belum terlalu menyolok. Dalam uraian selanjutnya akan dibahas awal kelahiran IPPNU dan bagaimana perjalanan para pelajar putri NU sampai mereka hadir di ajang muktamar IPNU di atas.

----------------------------------------
(7) Sambutan ketua umum PP IPNU pada Buku Panduan 

Tahajud Cintaku


Oleh: Emha Ainun Najib




Mahaanggun Tuhan  yang menciptakan hanya kebaikan 

 Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan



 Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya 

 Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima



 Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita

 Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya  tak dipelihara


 Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka

 Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya


 Ke  mana  pun memandang  yang tampak ialah kebenaran

 Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
 

 Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan

 Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan


 Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta

 Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

         1988
 

Sejarah IPNU-IPPNU (2)


Kelahiran IPNU


Realitas akan keberadaan perkumpulan yang demikian banyak tersebut menunjukkan betapa tinggi antusiasme berorganisasi di kalangan remaja NU. Namun, pada masa itu keberadaan mereka masing-masing tidak saling mengenal kendati memiliki beberapa titik kesamaan, khususnya pada nilai-nilai kepelajaran dan faham Aswaja. 

Titik-titik kesamaan ini memberikan inspirasi bagi para pelopor pendiri organisasi -yang nantinya bernama IPNU- untuk menyatukan seluruh perkumpulan tersebut ke dalam satu wadah resmi di bawah payung PB Nahdlatul Ulama. Gagasan ini disampaikan dalam Konperensi Besar LP Ma'arif NU pada bulan Februari 1954 di Semarang oleh pelajar-pelajar dari Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang, yaitu M. Sofyan Kholil, Mustahal, Ahmad Masyhud, dan Abdulgani Farida M. Uda. 

Atas usul para pelajar ini, pada tanggal 24 Februari 1954 bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir 1373 H, konbes Ma'arif menyetujui berdirinya organisasi Ikatan Peladjar Nahdlatul Ulama (IPNU) dengan Ketua Pimpinan Pusat Mohammad Tolchah Mansoer yang saat itu tidak hadir dalam konperensi.


IPNU ketika didirikan adalah sebagai anak asuhan LP Ma'arif NU. Baru pada kongres yang keenam di Surabaya, IPNU -dan juga nantinya IPPNU- menjadi badan otonom di bawah PBNU. 

IPNU tampak semakin melangkah maju dengan diadakannya Konperensi Segi Lima yang terdiri dari utusan-utusan dari Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Jombang dan Kediri pada tanggal 29 April-1 Mei 1954 di Surakarta. 

Dalam konperensi tersebut diputuskan bahwa organisasi ini berasaskan Ahlussunnah wal Jama'ah, hanya beranggotakan putra saja yang berasal dari pesantren, madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi. Pendirian IPNU bertujuan untuk menegakkan dan menyiarkan agama Islam, meninggikan dan menyempurnakan pendidikan serta ajaran-ajaran Islam, dan menghimpun seluruh potensi pelajar Islam yang berfaham Ahlussunnah wal jama'ah, tidak hanya mereka yang berasal dari sekolah-sekolah NU saja.(4)

Untuk lebih memperkokoh eksistensinya, IPNU mengirimkan wakil dalam Muktamar NU ke-20 pada tanggal 9-14 September 1954 di Surabaya. Delegasi PP IPNU terdiri dari M. Sofyan Kholil, M. Najib Abdulwahab, Abdulgani Farida M. Uda, dan M. Asro yang dipimpin sendiri oleh ketua PP IPNU M. Tolchah Mansoer. 

Dalam sidang tanggal 14 September 1954, Tolchah mengemukakan urgensi organisasi IPNU yang kemudian mendapat pengakuan bulat oleh Muktamar NU sebagai organisasi pelajar dalam lingkungan NU dengan persyaratan bahwa anggota IPNU hanya putra saja, sedangkan untuk putri diadakan suatu organisasi secara sendiri.(5) Bahkan dalam sidang gabungan delegasi Muslimat-Fatayat dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa harus ada organisasi serupa IPNU untuk menampung pelajar-pelajar putri di lingkungan NU ke dalam suatu wadah tersendiri.(6) 

Keputusan mengenai "suatu wadah tersendiri" inilah yang tampaknya nanti akan mewarnai berdirinya organisasi yang kelak bernama IPPNU.

Muktamar Surabaya ini adalah muktamar pertama semenjak NU menjadi partai politik, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh perhatian muktamirin dicurahkan pada persoalan politik untuk menghadapi pemilu 1955 yang akan berlangsung pada 29 September 1955 untuk anggota DPR dan 15 Desember untuk anggota Konstituante. 

Gagasan penggalangan potensi pelajar di lingkungan NU tampaknya memberikan tenaga tambahan sebagai upaya konsolidasi seluruh potensi NU menghadapi momentum pemilu. Tidak heran jika pada akhirnya muktamirin menerima secara bulat dibentuknya organisasi pelajar di lingkungan NU. Terlebih Masyumi yang dianggap sebagai rival utama NU, sudah memiliki organisasi pelajar yang tertata rapi yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII). (cont)

-------------------------------------
(4) "Sedjarah Perdjuangan IPNU" h. 8.
(5) Ibid h. 9.
(6) Fatayat NU didirikan di Surabaya pada tanggal 24 April 1950 dengan prakarsa Nihayah Bakri, Aminah Mansur, dan Chuzaimah Mansur.

Begitu Engkau Bersujud


Oleh: Emha Ainun Najib


Begitu engkau bersujud, terbangunlah ruang
  yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid

 Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
  pula telah engkau dirikan masjid

 Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
  telah kau bengun selama hidupmu?

 Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
  meninggi, menembus langit, memasuki
  alam makrifat



 Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
  bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud

 Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
  ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan

 Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
  ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang

 Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
  cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
  adzan



 Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid

 Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
  Allah, engkaulah kiblat

 Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
  didengar Allah, engkaulah tilawah suci

 Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
  Allah, engkaulah ayatullah



 Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
  karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
  dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
 

 menjadilah engkau masjid
 
 
  1987

Sejarah IPNU-IPPNU (1)


Masa Pra Kelahiran (1926-1954)


Maraknya Organisasi-organisasi Pelajar NU



Sejak berdirinya, Nahdlatul Ulama telah melahirkan wadah-wadah berdasarkan kelompok usia dengan faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja). Muslimat NU, GP Ansor, dan Fatayat NU yang terbentuk kala itu ternyata masih menyisakan suatu celah lowongnya pengaderan, khususnya bagi para remaja usia sekolah.(1). Pemikiran untuk menghimpun para pelajar yang berusia belia ini bukan tidak ada, alih-alih beberapa organisasi pelajar yang berfaham Aswaja pada waktu itu sudah marak sejak masa pra kemerdekaan. 

Pada tanggal 11 Oktober 1936, putra-putra warga NU di Surabaya mendirikan perkumpulan bernama 'Tsamrotul Mustafidin'. Di kota yang sama pada tahun 1939 didirikan pula sebuah perkumpulan yang dinamakan 'Persatoean Santri NO' (PERSANO). Di kota Malang menyusul lahirnya sebuah perkumpulan bernama 'Persatoean Anak Moerid NO' (PAMNO) pada tahun 1941 dan 'Ikatan Moerid NO' tahun 1945.



Di luar pulau Jawa berdiri beberapa perkumpulan diantaranya 'Ijtimauttolabah NO' (ITNO) tahun 1946 di Sumbawa yang memiliki persatuan sepak bola dengan nama 'Ikatan Sepak Bola Peladjar NO' (ISPNO) (2). Selain itu di Pulau Madura pada tahun 1945 didirikan sebuah perkumpulan bernama 'Syubbanul Muslimin'. Lahirnya perkumpulan-perkumpulan pelajar di atas pada masa revolusi kemerdekaan merupakan bukti bahwa semangat berorganisasi dan berjuang di kalangan generasi muda, khususnya yang berfaham Aswaja, senantiasa menyala-nyala. 



Pada tanggal 22 Oktober 1945 rapat besar wakil-wakil daerah Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa/Madura mengeluarkan "Resolusi Jihad Fii Sabilillah" untuk mempertahankan dan menegakkan agama dan kedaulatan Republik Indonesia Merdeka. 

Situasi ini mendorong seluruh perkumpulan pelajar di kota-kota di atas untuk terjun langsung dalam kancah revolusi fisik menentang kembalinya penjajah Belanda. Hal ini merupakan sumbangsih para pelajar NU sekaligus bukti bahwa sejak mula generasi muda NU telah menunjukkan tebalnya semangat nasionalisme yang dilandasi kesadaran menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan negara RI yang diproklamasikan tahun 1945.



Selama kurang lebih lima tahun sejak berdirinya republik, seluruh kekuatan bangsa Indonesia sedang diarahkan pada upaya mempertahankan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama kurun itu ribuan syuhada gugur di medan laga dengan meninggalkan semangat yang terwariskan ke generasi berikutnya. Perjuangan diplomasi di kancah internasional pun tak kurang dilakukan oleh para pemimpin RI kala itu. 

Setelah perjuangan panjang yang melelahkan, akhirnya Belanda secara resmi mengakui kedaulatan RI pada bulan Desember 1949. Upacara pengakuan kedaulatan berjalan paralel di Jakarta dan di Belanda. Kehidupan di tanah air kemudian mulai berjalan normal, orang kembali sibuk dengan kegiatan kesehariannya, beberapa perkumpulan mulai marak mengadakan kegiatan, demikian pula Nahdlatul Ulama dan neven-nevennya.



Pada awal dekade 50-an mulai muncul semangat baru di kalangan generasi muda NU untuk bergerak. Perkumpulan-perkumpulan berfaham Aswaja yang lahir sebelum itu dipandang terlalu bersifat lokal di samping efektivitas organisasinya melemah seiring dengan pudarnya gaung revolusi yang mendominasi kelahiran perkumpulan-perkumpulan tersebut,  sehingga dipandang perlu mendirikan perkumpulan baru yang lebih berorientasi pada pengaderan pelajar dan bersifat nasional. 

Kesadaran ini memperoleh bentuk yang kongkrit di beberapa tempat dengan berdirinya organisasi seperti 'Ikatan Siswa Muballighin NO' (IKSIMNO) pada tahun 1952 di Semarang dan 'Persatuan Peladjar NO' (PERPENO) pada tahun 1953 di Kediri.(3). Disusul oleh kota Bangil beberapa bulan kemudian dengan berdirinya 'Ikatan Peladjar Islam NO' (IPINO). 

Sementara itu pada awal tahun 1954 di kota Medan, Sumatera Utara, didirikan pula IPNO singkatan dari 'Ikatan Peladjar NO', yang sudah mirip dengan nama organisasi IPNU (singkatan dari 'Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama') yang lahir kurang lebih dua bulan kemudian. (cont)


-----------------------------
(1) Gerakan Pemuda Ansor didirikan pada tanggal 24 April 1934 di Banyuwangi Jawa Timur. Dibesarkan dalam tradisi kepanduan, Ansor banyak berperan dalam pembentukan barisan Hizbullah semasa perang kemerdekaan. Tokoh-tokoh pendiri Ansor diantaranya K.H. Thohir Bakri, K.H. Machfudz Sidiq, K.H.A Wahid Hasyim dan K.H. Abdullah Ubaid (lihat "Direktori Organisasi Pemuda Indonesia", Jakarta: Kantor Menpora, 1997).
(2) Keterangan ini dikutip dari "Sedjarah Perdjuangan IPNU dari Masa ke Masa" (Jakarta: Yayasan Lima empat, 1966) h. 7. Selanjutnya dikutip "Sedjarah Perdjuangan IPNU". Namun organisasi yang memiliki nama yang hampir serupa yaitu 'Ijtimaut Tholabiyah' didirikan di Madura pada tahun 1945 menurut buku "IPNU-IPPNU Jawa Timur dari Masa ke Masa" (Surabaya: PW IPNU-IPPNU Jawa Timur, 1982) h. 4. Selanjutnya dikutip "IPNU-IPPNU Jawa Timur".
(3) "Sedjarah Perdjuangan IPNU" h. 8. Dalam "IPNU-IPPNU Jawa Timur" disebutkan lahirnya Ikatan Muballigh NU di Semarang pada tahun 1950.


Makna Lambang NU


Lambang

Dalam Anggaran Dasar NU, Pasal 4, disebutkan “Lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas garis katulisitiwa, yang terbesar diantaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulisitiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.”


Arti Lambang

a. Gambar bola dunia

melambangkan tempat hidup, tempat berjuang, dan beramal di dunia ini dan melambangkan pula bahwa asal kejadian manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah.

b. Gambar peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia

melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik Indonesia.

c. Tali yang tersimpul

melambangkan persatuan yang kokoh, kuat;

Dua ikatan di bawahnya merupakan lambing hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan;

Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah melambangkan Asmaul Husna.

d. Sembilan bintang yang terdiri dari lima bintang di atas garis katulistiwa dengan sebuah bintang yang paling besar terletak paling atas,

melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat manusia dan Rasulullah;

Empat buah bintang lainnya melambangkan kepemimpinan Khulaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Empat bintang di garis katulisitiwa melambangkan empat madzab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.

Jumlah bintang sebanyak 9 (sembilan) melambangkan sembilan wali penyebar agama Islam di pulau Jawa.

e. Tulisan Arab “Nahdlatul Ulama”

menunjukkan nama dari organisasi yang berarti kebangkitan ulama. Tulisan Arab ini juga dijelaskan dengan tulisan NU dengan huruf latin sebagai singkatan Nahdlatul Ulama.

f. Warna hijau dan putih

warna hijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia dan warna putih melambangkan kesucian.

Sumber :
1) Anggaran Dasar NU
2) Pendidikan Aswaja/Ke-NU-an Jilid I, Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jatim.