Penulis: Drs. KH. A. Busyairi Harits, M. Ag.
Tebal: xi + 223 hlm
Ukuran: 12 x 18 cm
ISBN: 978-979-1353-22-9
Terbit: Cetakan I, 2010
Penerbit: Khalista Surabaya
Resensi Oleh :Anis Nurohmah *
Dalam kajian historis, Greetz membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan, diantaranya santri, priyayi, dan abangan. Dalam perkembangan selanjutnya atau kekinian, kategori yang telah ada semakin banyak pula macamnya. Pengotak – kotakan terhadap Islam ini antara lain kategorisasi Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam Jawa, Islam lokal, Islam jenggot, Islam NU, dan sebagainya.
Kategori ini menjadi penting manakala melihat keragaman realitas yang kompleks. Tetapi yang mesti dipahami bahwa kategorisasi dan tipologi tersebut merupakan suatu analisis intelektual yang tidak akan mampu menjelaskan secara tuntas kompleksitas dan realita yang ada.
Di Indonesia, tradisi Islam sering dikaitkan dengan budaya lokal yang bernuansa Hindu – Budha dan agama adat. Padahal secara makna harfiah, antara tradisi dan budaya sudah berbeda pemaknaannya. Karenanya tidak mengherankan bila Islam tidak pernah sepi dijadikan obyek kajian, dan setiap pengategorian Islam pasti memiliki kebenaran sekaligus kelemahan.
Di lingkungan masyarakat Jawa misalnya, secara kasar dapat dibagi menjadi empat kategori. Pertama, Islam yang tercampur dengan tradisi lokal. Kedua, muslim yang terbaratkan (westernized) atau setidaknya memperoleh pengaruh Barat secara kental, sementara tradisi dan wawasan Islamnya sangat minim. Ketiga, mereka yang memahami dan menghayati Islam dalam kadar pas–pasan, serta memiliki pemahaman dan apresiasi peradaban Barat serta modernisasi yang juga pas–pasan. Keempat, mereka memiliki kedalaman tentang Islam dan mampu memelihara etos dan disiplin ilmu keislaman. Inilah yang kemudian lazim disebut kaum santri yang memang benar–benar santri.
Dalam buku yang diedit oleh Muhammad Iqbal atau kerap disapa Gus Iq ini berusaha mengungkapkan sisi lain NU yang telah menisbatkan diri sebagai organisasi yang berpedoman pada Ahlussunnah wal Jama’ah sejak dari awal terbentuk.
Bahasan yang terbagi dalam enam bab terdiri atas pendahuluan yang berisi tentang latar belakang penulisan buku sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada para pembaca mengenai Nahdlatul Ulama sebagai pengantar dalam kajian pada bab–bab berikutnya.
Bab dua tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, penulis berusaha mengungkapkan sejarah lahirnya komunitas Sunni dan perkembangan Ahlussunnah wal Jama’ah beserta penjelasan siapakah yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Bab ketiga, NU dan perspektif fiqh berusaha diungkapkan dengan penjelasan tentang sumber ajaran Islam yang dipakai NU dalam setiap pengambilan keputusan dan menghadapi berbagai permasalahan, baik yang bersifat ubudiyah maupun muamalah. Pengambilan keputusan selalu berpedoman pada dasar sumber Islam yaitu Al Qur’an dan As Sunnah serta Al ijma’ dan Al Qiyas, penjelasan tentang sistem bermadzab menjadi bahasan yang menarik karena penulis menjabarkan tentang beberapa madzab yang berkembang di kawasan Islam.
Masalah taqlid yang seringkali menjadi polemik di kalangan luar Nahdliyyin dijadikan sub bahasan yang mampu memberikan penjelasan bahwa taqlid yang dilakukan warga Nahdliyyin bukan tanpa alasan karena dalam beberapa aspek dijelaskan bahwasanya orang yang kurang pemahamannya dalam hal ilmu agama wajib bertaqlid pada orang yang lebih paham dalam hal ini, adalah para mujtahidin.
Talfiq atau pencampuran ajaran berbagai madzab dalam masalah ubudiyah tak lepas dari tema dengan melihat kondisi masyarakat saat ini yang seringkali tidak paham mengenai fiqh dan seringkali malah mencampuradukkan antara madzab satu dengan madzab yang lain.
Lanjut pada sub bab berikutnya mengenai bid’ah yang acapkali warga Nahdliyyin dituding sebagai penyebar macam tradisi yang berbau bid’ah. Penulis menjabarkan tentang definisi bid’ah disertai pembagian bid'ah menurut ulama salafus shalih. Bab ketiga ditutup dengan sub bahasan mengenai bathsul masa’il ala NU.
Dalam bab keempat, teks pidato Mukaddimah al Qanunil Asasy dipaparkan setelah diterjemahkan oleh Dr. (HC) KHA. Musthofa Bisri Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang. Bahasan dilanjutkan mengenai sejarah berdirinya NU dengan cerita yang belum pernah dipaparkan sebelumnya, terutama mengenai peristiwa tongkat dan tasbih yang dipaparkan oleh Kiai Asad. Dalam perjalanannya pun beberapa ulama pendiri NU tidak lepas dari Komite Hijaz yang merupakan awal dari bibit berdirinya Nahdlatul Ulama, disambung dengan tujuh kepribadian dan karakter NU sebagai gerakan keagamaan (harakah diniyah) yang dilandasi oleh dasar dan paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah dan sistem bermadzab.
Klimaks dari buku ini terdapat pada bab kelima, tantangan Islam NU dan tradisi Sunni Indonesia dalam menghadapi gencarnya ajaran Wahabi mulai menyebar ke berbagai belahan dunia dengan berbagai model gerakan dan organisasi. Dalam bab ini pula, penulis berusaha mengungkapkan akar ajaran berbagai macam gerakan Islam yang cenderung ke arah puritanisme, fundamentalisme, bahkan gerakan Islam yang mengarah kepada ekstremisme.
Penulis juga seorang dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Semarang (UNNES) berusaha pula menyempurnakan tulisannya dengan bahasan mengenai pilar–pilar pengawal Sunni dalam berbagai bidang, baik pendidikan, budaya, sosial kemasyarakatan, perekonomian, penerangan dan dakwah serta adanya gerakan kiai kampung yang menjadi agenda dalam menjaga ajaran Sunni di wilayah Nusantara.
Bab terakhir atau bab keenam merupakan bab penutup dengan untaian kalimat dari penulis: “Meskipun saya bukanlah yang pertama memulainya, tapi saya yakin dapat mendatangkan sesuatu yang tidak pernah dihadirkan oleh mereka para pendahulu.”
Melalui buku ini, penulis berusaha untuk mengomunikasikan beberapa hal kepada masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai Islam yang diusung NU adalah Islam yang santun, cantik, dan menarik.
Santun berarti ajarannya bermuara pada teologi filosofis yang sarat dengan etika dan estetika ketuhanan atau sering kita sebut dalam ilmu tassawuf dengan akhlak Rabbany.
Cantik, artinya pengembangan ajaran Islam mengikuti ritme ‘adalah, keadilan, kesimbangan (tawazun), kedamaian (al-shaluh) dan selalu percaya terhadap visi dan misi Rahmatan lil’alamin.
Islam NU ini ngin menyatakan bahwa ajaran yang selalu mengusung mahzab bukan berarti mengekor, tidak memiliki inisiatif atau mengekor pendapat orang. Akan tetapi ingin menggambarkan bahwa elastisitas hukum sangat penting untuk diselaraskan dengan obyek hukum itu sendiri, atau dengan kata lain menyelaraskan antara bahasa langit (wahyu) dan bahasa bumi (manusia).
Buku yang menjadi salah satu referensi untuk masyarakat Indonesia pada umumnya untuk lebih mengenal NU, arti penting Ahlussunnah wal Jama’ah, Komunitas Sunni dan untuk lebih mengetahui tentang paham Wahabi yang telah menjadi paham resmi di wilayah Saudi Arabia, mengingat sejarah dari Muhammad Ibn Saud dan kerjasamanya dengan Muhammad bin Abdul Wahab hingga akhirnya mampu menguasai wilayah Haramayn (Makkah dan Madinah).
Terlebih khusus buku ini ditujukan untuk kaum muda NU dan warga Nahdliyyin untuk tetap berada dalam koridor pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah, mengingat sekarang semakin maraknya muncul aliran–aliran agama yang seringkali memojokkan para warga NU yang dicap sebagai “ahli bid’ah”.
* Pegiat Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Anda !